Studi Pulau Weh Pulau Weh adalah salah satu pulau paling barat di Indonesia. Secara geografis pulau ini membentang antara 50 46’ 28” - 50 54’ 28 Lintang Utara dan 950 13’ 02”- 950 22 36” Bujur Timur, dengan luas wilayah daratan lebih kurang 153 kilometer persegi dan wilayah perairan lebih kurang 9,12 kilometer persegi.
Pulau Weh merupakan jalur perdagangan internasional, karena berada di persimpangan masuk Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik, sehingga nantinya arus barang, informasi dan budaya tidak terbendung masuk ke pulau ini. Fenomena seperti itu sudah terlihat secara jelas pada saat Sabang menjadi pelabuhan bebas beberapa waktu yang lalu.
Upaya untuk menghidupkan kembali pelabuhan bebas Sabang sekarang tengah giat dilakukan oleh pemerintah, yaitu dengan menjalin kerjasama dengan pihak luar. Dengan demikian, Sabang diprediksi akan menjadi pulau tersibuk di wilayah barat Indonesia, karena akan disinggahi oleh kapal-kapal dari berbagai negara di dunia.
Pulau Weh (Sabang) terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sukajaya yang membawahi 10 kelurahan (Paya Keunukai, Keunukai, Beurawang, Jaboi, Balohan, Anoi Itam, Ujong Kareung, Ie Meulee, Cot Ba’u, serta Cot Abeuk), dan Kecamatan Sukakarya yang membawahi delapan kelurahan (Iboih, Bate Shok, Paya Seunara, Krueng Raya, Aneuk laot, Kota Bawah Timur, Kota Bawah Barat, dan Kota Atas).
Pada umumnya, masyarakat Sabang adalah pendatang, yang terdiri dari beberapa suku dan etnis di Indonesia, antara lain suku Aceh, Batak, Jawa, dan lain-lain, ditambah etnis Cina yang banyak menetap di Sabang. Kehidupan masyarakat di Sabang bersifat heterogen. Kebanyakan berprofesi sebagai PNS, TNI/Polri, pedagang, petani dan nelayan.
Masyarakat Sabang dalam kehidupan sehari-hari sangat terbuka dalam menerima kebudayaan lain. Fenomena ini dilatar belakangi oleh multisuku dan etnis yang mendiami Sabang, sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka dapat hidup rukun dan damai dalam suatu komunitas, hingga saat ini.
Local Wisdom Masyarakat Sabang
Keberagaman adat dan budaya masyarakat di suatu daerah akan menjadi identitas tesendiri bagi daerah tersebut. Masyarakat pulau Weh Sabang yang sebagian besar pendatang, biasanya mengembangkan adat dan budaya yang sama dengan masyarakat di daerah asal mereka, meskipun mereka tinggal dalam komunitas etnis beragam. Di antara adat dan budaya yang tetap dipelihara sampai sekarang dapat dilihat, antara lain, adat perkawinan. Dalam adat perkawinan masing-masing daerah memelihara adatnya sendiri, seperti motif pakaian adat perkawinan, reusam, dan lain-lain.
Adat yang dikembangkan di Pulau Weh tidak saja terbatas pada adat perkawinan, akan tetapi masyarakat juga melakukan kenduri laot (turun ke laut) sebagai bentuk kenduri tahunan. Pada kenduri ini ada pantangan untuk tidak melaut selama satu minggu, dan tradisi ini sudah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Di samping adat perkawinan dan kenduri laot, masih banyak adat lain yang dijalankan, seperti kenduri atot, yaitu kenduri untuk kejadian kematian yang pelaksanaannya pada hari ke-3, ke-5, ke-7, ke-40 dan, ke-100 hari, sampai dengan kenduri puwo thon. Kemudian kenduri maulid, dan sebagainya, yang merupakan adat dan budaya yang dikembangkan oleh masyarakat Sabang.
Sabang juga memiliki kesenian, seperti Seni Seudati, Rapai, Seurune Kale, dan Likok Pulo. Kesenian ini biasanya ditampilkan pada hari-hari besar keagamaan dan kenegaraan. Sabang juga banyak menyimpan benda-benda purbakala yang memiliki nilai sejarah dan seni tinggi, seperti gedung kesenian, Hotel Samudra, Kantin Andaria (kini PDAM), Kantor Shabandar, dan lain-lain. Terdapat pula berbagai obyek wisata bahari dan benteng-benteng pertahanan peninggalan Belanda dan Jepang.
Meskipun budaya lokal tetap dipertahankan oleh masyarakat Sabang, pengaruh budaya luar (Westernisasi) dewasa ini cukup mempengaruhi kearifan lokal budaya masyarakat Sabang. Fenomena ini terlihat dari kegandrungan muda-mudi Sabang mengikuti budaya pop, dan kurang peduli ‘sesama’. Gotong royong sudah menjadi barang mahal dalam kehidupan masyarakat, baik pada acara-acara perkawinan, maupun pada acara sosial lainnya. Padahal, dahulu gotong royong menjadi alat perekat dalam menyambung ukhuwah warga di suatu komunitas masyarakat.
Fenomena ini perlu diwaspadai oleh semua elemen masyarakat guna mengantisipasi derasnya arus budaya asing yang siap menggerogoti budaya lokal sebagai warisan indatu (leluhur) kita. Dalam hal ini semua pihak harus merefleksikan kembali hadih maja (peribahasa khas Aceh—red), “mate aneuk meupat jeurat, mate adat hana pat tamita” (arti: Jika anak meninggal, ketahuan di mana kuburannya. Tapi, jika adat yang hilang, tidak tahu mencarinya ke mana—red) Pendidikan Hadapi Masalah, ‘Kearifan Lokal’,
Masyarakat dengan segala kemajemukan saat ini selalu dihadapkan kepada banyak pilihan. Oleh sebab itu masyarakat dituntut untuk bisa merumuskan peran dan aksinya guna menyongsong masa depan yang lebih sempurna dan bermartabat. Upaya menyongsong masa depan agar lebih baik dari masa sekarang hanya dapat ditempuh melalui pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan proses mempersiapkan diri menghadapi sutuasi baru, untuk menemukan eksistensi diri secara cepat.
Dewasa ini banyak masyarakat menganggap bahwa sekolah satu-satunya tempat untuk menggantungkan nasib hidup ke depan, sehingga banyak sekolah dipuja tanpa ada beban sedikitpun. Padahal, banyak sekolah yang menerapkan sistim pendidikan yang tidak membumi, tetapi hanya berpikir, menganalisis dan berdiskusi. Pola pendidikan ini harus dikritisi, karena selama 30 tahun lebih tidak ada sekolah yang sebenarnya. Selain beberapa kekecualian juga tidak ada lagi guru, yang ada penatar, instruktur, atau pawang, sehingga pendidikan tenggelam dalam power system. Akhirnya, manusia yang dihasilkan oleh sekolah bukan lagi manusia merdeka yang peduli terhadap realitas sosial.
Perubahan sosial dewasa ini berlangsung secara cepat. Dari perubahan tersebut menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu, semua pihak harus berupaya mengeliminir dan meminimalisir ketimpangan sosial tersebut melalui program-program yang berbasis sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Melihat masyarakat Pulau Weh Sabang yang mayoritas nelayan, maka pendidikan yang diberikan setidaknya berhubungan dengan kelautan. Seperti, bagaimana menjaga biota dan ekosistem laut dari kepunahan, atau dengan cara memberdayakan nelayan maupun lembaga adat panglima laot, atau melalui program-program lain yang berbasis masyarakat yang hidup di daerah kepulauan.
Pendidikan pada esensialnya harus berdialektika dengan konteks zamannya. Tanpa semangat yang demikian, maka pendidikan justru menjadi alat untuk mencerabut masyarakat dari kultur yang selama ini diwarisinya. Pendidikan harus mampu, sekaligus bertanggung jawab dalam menjawab masalah dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan agar pendidikan memiliki basis sosial dan basis kulturnya. Pendidikan di manapun tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial dimana pendidikan diselenggarakan. Karena, menjadi relevan, bila dikatakan bahwa mengeluarkan masyarakat dari sistem atau struktur sosial itu memunculkan masalah.
Pola masalah untuk megetahui sekaligus berupaya menemukan akar masalah dalam masyarakat sedang diupayakan di tengah masyarakat Pulau Weh dengan beberapa sasaran. Yaitu, pertama, rehabilitasi lingkungan permukiman masyarakat agar masyarakat memiliki lingkungan yang layak dan memenuhi standar kesehatan. Kedua, memberikan santunan kepada masyarakat kurang mampu melalui bantuan sosial. Ketiga, memberikan modal usaha kepada masyarakat kurang mampu yang membutuhkan.
Ketiga pola di atas dilakukan secara saksama bersama masyarakat, agar sasaran yang diinginkan tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan bersama-sama oleh masyarakat melalui jalur musyawarah warga setempat.
Pola musyawarah pada esensialnya adalah bagaimana mengajak masyarakat untuk berpikir sekaligus merumuskan permasalahan yang ada disekitarnya, terutama hal-hal yang berhubungan dengan kemiskinan warga masyarakat. Karena, kemiskinan yang diderita oleh sebagian warga masyarakat, terutama mereka yang hidup di pedesaan, sering dipahami sebagai akibat dari kebodohan, kurang ketrampilan teknis, etos kerja rendah, dan sebagainya. Namun, apabila dipahami secara mendalam, maka kemiskinan bukan semata-mata akibat dari sistem budaya, tetapi sangat berkaitan dengan masalah struktur sosial. Bahkan, kemiskinan berkaitan secara kasual dengan ketidakberdayaan, sehingga kemiskinan yang menihilkan proses pemberdayaan merupakan sesuatu yang mustahil.
Untuk itu perlu sistim pendampingan. Dapat berupa individu maupun kelompok yang memiliki kualitas SDM memadai. Salah satu metode yang harus dikuasai oleh pemberdaya agar mampu memberdayakan masyarakat miskin di perdesaan adalah penguasaan metode PRA (Parcipatory Action Research). Metode ini perlu digunakan agar jurang antara pemberdaya dengan penduduk yang diberdayakan tidak terjadi. Karena, pemberdaya disini bukan aktor utama, tetapi hanya sekedar sebagai peran pendukung. Aktor utamanya adalah masyarakat setempat sendiri, dan hasilnya juga akan dinikmati oleh penduduk setempat.
Dengan demikian pendidikan hadap masalah ‘problem possing education’ adalah upaya untuk meletakkan pendidikan pada kerangka dasar, yaitu dengan cara mengintegrasikan problem-problem eksistensial kemanusiaan sekaligus kemasyarakatan ke dalam pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar